A.
Pengertian Akhlak
Secara etimologis akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang artinya budi pekerti,
tingkah laku, perangai atau tabiat. Kata akhlak mempunyai sinonim dengan etika
dan moral. Etika dan moral berasal dari bahasa Latin yang berasal dari kata etos yaitu kebiasaan dan mores artinya kebiasaannya. Kata akhlak
berasal dari kata kerja khalaqa yang
artinya menciptakan. Khaliq maknanya
pencipta atau Tuhan dan makhluq
artinya yang diciptakan, sedangkang khalaq
maknanya penciptaan. Kata khalaqa
yang mempunyai kata yang seakar di atas mengandung maksud bahwa akhlak
merupakan jalinan yang mengikat atas kehendak Tuhan dan manusia. Pada makna
lain kata akhlak dapat diartikan tata prilaku seseorang terhadap orang lain.
Jika prilaku ataupun tindakan tersebut didasarkan atas kehendak Khaliq (Tuhan) maka hal itu disebut
sebagai akhlak hakiki. Dengan demikian akhlak dapat dimaknai tata aturan atau
norma prilaku yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan serta alam
semesta.
Pengertian akhlak secara terminologis menurut ulama:
a) Menurut Imam Gazali:
الخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر الأفعال
بسهولة ويسر من غير
حاجة إلى فكر ورؤية
Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia)
yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran
maupun pertimbangan. Atau boleh juga dikatakan sudah menjadi kebiasaan. Orang
yang pemurah sudah biasa memberi. Ia memberi itu tanpa banyak pertimbangan
lagi. Seolah-olah tangannnya suda terbuka lebar untuk itu. Begitu juga orang
kikir. Seolah-olah tangannya sudah terpaku saja dalam kantongnya, tidak mau
mengulurkan bantuan kepada fakir miskin. Begitu juga orang pemarah. Selalu saja
marah tanpa ada alasan.
b) Menurut Ibnu Maskawaih:
الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وروية
Akhlak adalah gerak jiwa yang mendorong ke arah
melakukan perbuatan dengan tidak membutuhkan pikiran.
c) Menurut Ahmad Amin:
الخلق عادة الإرادة
Khuluq (akhlak) adalah membiasakan kehendak.
Sebagian ulama mengatakan akhlak itu ialah suatu sifat
yang terpendam dalam jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul waktu ia
bertindak tanpa merasa sulit (timbul dengan mudah). Pendapat itu tidak jauh
bebeda dengan pendapat Imam Gazali.
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati
tempat yang penting sekali, baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat dan bangsa. Sebab jatuh bangunnya, jaya hancurnya,
sejahtera-rusaknya sesuatu bangsa dan masyarakat tergantung keadaan bagaimana
akhlaknya. Apabila akhlaknya baik (berakhlak), akan sejahteralah
lahir-batinnya, akan tetapi apabila akhlaknya buruk (tidak berakhlak), rusaklah
lahirnya atau batinnya.
B.
Hubungan Akhlak dengan Ilmu Tasawuf
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang
menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam. Spiritualitas ini dapat
mengambil bentuk yang beraneka ragam di dalamnya. Dalam kaitannya dengan
manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya dibandingkan aspek
jasmaninya. Dalam kaitannya dengan kehidupan, tasawuf lebih menekankan
kehidupan akhirat dibandingkan dengan
kehidupan dunia yang fana, sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman
keagamaan, tasawuf penafsiran batini dibanding penafsiran lahiriah. Tasawuf
lebih menekankan spiritualitas dalam berbagai aspeknya karena para ahli
tasawuf, yang kita sebut sufi, memercayai keutamaan spirit dibanding jasad,
memercayai dunia spiritual dibanding dunia material.
Para ahli ilmu tasawuf pada umumnya membagi tasawuf
kepada tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki, dan ketiga
tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada
Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias
diri dengan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian
tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam
tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan.
Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan
bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat pada kalangan filosof, seperti
filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain
sebagainya. Selanjutnya pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dengan akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak
terpuji), tajalli (terbukanya dinding
penghalang atau hijab) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya.
Sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
amaliah atau wirid, yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat. Dengan
mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi, akhlaki atau amali, seseorang
dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan
sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena terpaksa.
Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf lebih
lanjut dapat kita ikuti uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika
mempelajari tasawuf, bahwa Al-Quran dan Al-Hadist mementingkan akhlak. Al-Quran
dan Al-Hadist menekankan kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa
kesosialan, keadilan, tolong–menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar,
baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian,
hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berpikir lurus.
Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan dimasukkan
ke dalam dirinya dari semasa ia kecil.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah
ibadah amat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan
serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya,
yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah
yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan
akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah
dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam
Al-Quran dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan
dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang
tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah
orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang
yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah,
terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam
diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluq bi akjlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi
pekerti Allah, atau al-ittishab bi
shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah.
C.
Hubungan Akhlak dengan Ilmu Kalam
Ilmu kalam atau ilmu tauhid sebagaimana dikemukakan
Harun Nasution mengandung arti sebagai ilmu yang membahas tentang cara-cara
meng-Esakan Tuhan, sebagai salah satu yang terpenting di antara sifat-sifat
Tuhan lainnya. Selain itu ilmu ini juga disebut sebagai Ilmu Ushul al-Din dan oleh karena itu buku
yang membahas soal-soal teologi dalam Islam selalu diberi nama Kitab Ushul al-Din. Dinamakan demikian karena
masalah yang pokok dalam Islam. Selain itu ilmu ini juga dikatakan dengan ilmu aqa’id, credo atau keyakinan-keyakinan, dan buku-buku yang menguppas
tentang keyakinan-keyakinan diberi judul al-Aqa’id
(ikatan yang kokoh).
Selanjutnya ilmu tauhid disebut pula Ilmu Kalam yang secara harfiah berarti
ilmu tentang kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan,
maka yang dimaksud adalah kalam Tuhan yang ada di dalam Al-Quran, dan masalah
ini pernah menimbulkan perbincangan bahkan pertentangan keras di kalangan ummat
Islam di abad kesembilan dan kesepuluh Masehi sehingga menimbulkan pertentangan
dan penganiayaan terhadap sesama muslim.
Selanjutnya yang dimaksud dengan kalam adalah
kata-kata manusia, maka yang dimaksud dengan ilmu kalam adalah ilmu yang
membahas tentang kata-kata atau silat lidah dalam rangka mempertahankan
pendapat dan pendirian masing-masing. Ilmu kalam adalah ilmu ushuluddin, ilmu
pokok-pokok agama, yakni menyangkut aqidah dan keimanan. Akhlak yang baik
menurut pandangan Islam haruslah berpijak pada keimanan. Iman tidak cukup
sekedar disimpan dalam hati, melainkan harus dilahirkan dalam perbuatan yang
nyata dan dalam bentuk amal shaleh, barulah dikatakan iman itu sempurna, karena
telah dapat direalisir.
Dari berbagai istilah yang berkaitan dengan ilmu
tauhid maka kita dapat memperoleh kesan yang mendalam bahwa Ilmu tauhid itu
pada intinya berkaitan dengan upaya memahami dan meyakini adanya Tuhan dengan
segala sifat dan perbuatan-Nya. Juga termasuk pula pembahasan ilmu tauhid yaitu
rukun Iman.
Jelaslah akhlaqul
karimah adalah mata rantai iman. Sebagai contoh, malu (berbuat kejahatan)
adalah salah satu daripada akhlaqul mahmudah. Nabi dalam salah satu hadist
menegakan bahwa “Malu itu adalah cabang
dari pada keimanan”.
Sebaliknya, akhlak yang dipandang buruk adalah akhlak
yang menyalahi prinsip-prinsip iman. Seterusnya sekalipun sesuatu perbuatan
pada akhirnya baik, tetapi titik tolaknya bukan karena iman, maka hal itu tidak
mendapat penilaian di sisi Allah SWT. Demikianlah adanya perbedaan nilai
amal-amal baiknya orang beriman dengan amal-amal baiknya orang yang tidak
beriman.
Hubungan antara aqidah dan akhlak tercermin dalam
pernyataan Rasulullah Saw yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a “Orang mu’min yang sempurna imannya ialah
yang terbaik budi pekertinya.” (Riwayat at-Tirmidzi)
Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu kalam atau ilmu
tauhid sekurang-kurangnya dapat dilihat sebagai berikut:
1.
Dilihat dari
segi objek pembahasannya
Ilmu kalam atau ilmu tauhid membahas masalah Tuhan
baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada
Tuhan yang demikian itu akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan
yang dilakukan manusia itu akan tertuju semata-mata karena Allah SWT. Dan untuk
mengarahkan manusia menjadi ikhlas, dan keikhlasan ini merupakan salah satu
akhlak yang mulia. Allah SWT berfirman:
“Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.
(QS. Al-Bayyinah, 98: 5)
2.
Dilihat dari
segi fungsinya
Ilmu kalam atau tauhid menghendaki
agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghapal rukun iman
dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah orang yang bertauhid
itu meniru dan mencontoh terhadap subjek yang terdapat dalam rukun iman itu.
Jika kita percaya bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang mulia, maka sebaiknya
manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat Allah itu. Adapun rukun iman yang
harus dibina itu adalah:
a.
Beriman
kepada Allah
Jika seorang beriman kepada Allah
dan percaya kepada sifat-sifatnya yang sembilan puluh sembilan itu maka Asmaul
Husna itu harus dipraktikkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian beriman
kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia.
b.
Beriman
kepada malaikat
Yang dimaksud disini adalah agar
manusia meniru sifat-sifat terpuji yang terdapat pada malaikat, seperti jujur,
amanah, tidak pernah durhaka, dan patuh dalam melaksanakan segala yang
diperintahkan Tuhan.
c.
Beriman
kepada kitab-kitab yang diturunkan Tuhan (Al-Quran)
Secara akhlaki harus diikuti dengan upaya menjadikan
Al-Quran sebagai wasit, hakim serta imam dalam kehidupan. Secara tidak sengaja
maka kita mengikuti akhlak yang sesuai dengan akhlak yang terdapat dalam
Al-Quran.
d.
Beriman
kepada Rasul-rasul Allah
Dalam diri para rasul terdapat akhlak yang mulia.
Khususnya pada diri Rasulullah Muhammad Saw. Kita sebagai manusia diperintahkan
untuk mencontoh akhlak yang ada pada diri Rasul Saw. Dengan cara demikian
beriman kepada para rasul akan menimbulkan akhlak yang mulia. Hal ini dapat
diperkuat lagi dengan cara meniru sifat-sifat yang wajib pada Rasul, yaitu
sifat shidik (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan ajaran sesuai
dengan perintah Allah), dan fathanah
(cerdas).
e.
Beriman
kepada hari akhirat
Dari sisi akhlaki harus disertai dengan upaya
menyadari bahwa selama amal perbuatan yang dilakukan selama di dunia ini akan
dimintakan pertanggung jawabannya nanti. Kebahagiaan hidup di akhirat yang
ditentukan oleh amal perbuatan yang baik dan sebanyak-banyaknya akan mendorong
seseorang memiliki etos kerja untuk selalu melakukan perbuatan yang baik selama
hidupnya di dunia ini.
f.
Beriman
kepada qada’ dan qadar
Agar orang yang percaya kepada qada’ dan qadar Tuhan
itu senantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Tuhan dan rela menerima segala
keputusan-Nya. Perbuatan yang demikian merupakan perbuatan akhlak yang mulia.
3. Dilihat dari eratnya kaitan antara iman
dan amal shalih.
Hubungan antara iman dan amal shalih banyak sekali
kita jumpai di dalam Al-Quran maupun hadist. Misalnya:
“Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. Al-Nisa, 4: 65).
“Sesungguhnya
jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya
agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami
mendengar, dan kami patuh. Dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung”.
(QS. Al-Nur, 24: 51).
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang
yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya”.
(QS. Al-Anfal, 8: 2-4).
Jika kita perhatikan ayat-ayat tersebut secara seksama
akan tampak bahwa ayat-ayat tersebut seluruhnya bertemakan keimanan dalam
hubungannya dengan akhlak mulia. Ayat-ayat tersebut dengan jelas bahwa keimanan
harus dimanifestasikan dalam perbuatan akhlak dalam bentuk kerelaan dalam
menerima keputusan yang diberikan Nabi terhadap perkara yang diperselisihkan di
antara manusia, patut dan tunduk terhadap keputusan Allah dan rasulnya,
bergetar hatinya jika dibacakan ayat-ayat Allah, bertawakal, melaksanakan
shalat dengan khusyu’, berinfaq di jalan Allah, menjauhi perbuatan yang tidak
ada gunanya, menjaga farjinya, dan tidak ragu-ragu dalam berjuang di jalan
Allah SWT. Maka disinilah letaknya hubungan antara keimanan dengan pembentukan
ilmu akhlak.
Dari uraian di atas dapat dilihat dengan jelas
hubungan antara keimanan yang dibahas dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid dengan
perbuatan yang dibahas dalam ilmu akhlak. Ilmu kalam tampil dalam memberikan
landasan terhadap ilmu akhlak, dan ilmu akhlak tampil dengan memberikan
penjabaran dan pengalaman dari ilmu kalam atau ilmu tauhid. Tauhid tanpa akhlak
yang mulia tiada artinya, dan akhlak yang mulia tampa tauhid maka tidak akan
kokoh. Selain itu tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan akhlak memberi
isi terhadap arahan tersebut.
D.
Hubungan Akhlak
dengan Imu Filsafat
Filsafat diambil dari bahasa arab yaitu falsafah, dari bahasa Yunani pilosophia, kata majemuk yang terdiri
dari kata philos yang artinya cinta
atau suka, dan kata shopia yang
artinya bijaksana. Dengan demikian, secara etimologis kata filsafat memberikan
pengertian cinta kebijaksanaan. Orangnya disebut pilosopher atau failasuf
(istilah failasuf, lihat ibn Mandzur dalam lisan al-Arab). Secara terminologis,
filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam, sebanyak orang yang memberikan
pengertian atau batasan. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha
menyelidiki segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan mengunakan
pikiran. Bagian-bagiannya meliputi:
a. Metafisika : penyelidikan di balik alam nyata
b. Kosmologia : penyelidikan tentang alam (filsafat alam)
c. Logika : pembahasan tentang cara berpikir cepat dan tepat
d. Etika : pembahasan tentang tingkah laku manusia
e. Theodicea : pembahasan tentang ketuhanan
f. Antropolgi : pembahasan tentang manusia
Dengan demikian, jelaslah bahwa etika atau akhlak
termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu-ilmu yang pada mulanya
merupakan bagian filsafat karena ilmu tersebut kian meluas dan bekembang yang
pada akhirnya membentuk rumah tangganya sendiri dan terlepas dari filsafat.
Demikian juga etika atau akhlak dalam proses perkembangannya, sekalipun masih
diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, kini telah merupakan ilmu yang
mempunyai identitas sendiri.
Filsafat sebagaimana diketahui adalah suatu upaya
berpikir mendalam, radikal, sampai ke akar-akarnya, universal dan tematik dalam
rangka menemukan inti atau hakikat mengenai segala sesuatu. Di dalam filsafat
segala sesuatu dibahas untuk ditemukan hakikatnya.
Di antara filsafat objek pemikiran filsafat yang erat
kaitannya dengan ilmu akhlak adalah tentang manusia. Para filosof Muslim
seperti Ibn Sina (980-1037 M.) dan al-Gazali (1059-1111 M.) memiliki pemikiran
tentang manusia sebagaimana terlihat dalam pemikirannya tentang jiwa.
Pemikiran
filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibn Sina merupakan petunjuk bahwa dalam
pemikiran filsafat terdapat bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan
lebih lanjut menjadi konsep ilmu akhlak.
Pemikiran al-Gazali ini memberikan petunjuk adanya
perbedaan cara pendekatan dalam menghadapi seseorang sesuai dengan tingkat dan
daya tangkapnya. Pemikiran yang demikian akan membantu dalam merumuskan metode
dan pendekatan yang tepat dalam mengajarkan akhlak.
Pemikiran tentang manusia dapat pula kita jumpai pada
Ibn Khaldun. Dalam pemikiran Ibn Khaldun tampak bahwa manusia adalah makhluk
budaya yang kesempurnaannya baru akan tewujud manakala ia berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya. Ia menunjukkan tentang perlunya pembinaan manusia,
termasuk dalam pembinaan manusia dalam pembinaan akhlaknya.
Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang
berakal yang memerankan diri sebagai subjek kebudayaan dalam pengertian ideal.
Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam pemikiran filosof itu akan
memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang
cara-cara membina manusia, memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dan
sebagainya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat
dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang aman dan damai.
E.
Hubungan Akhlak dengan Ilmu Pendidikan
Pendidikan adalah proses yang
dilakukan secara sadar dan terencana dalam rangka untuk membantu perkembangan
potensi peserta didik guna memiliki kompetensi yang diharapkan oleh masyarakat.
Pendidikan paling tidak mengembangkan tiga dimensi individu manusia, yaitu
dimensi pikir (akliah), dimensi dzikir (hati), dan dimensi badan (jasadiah).
Ketiga dimensi tersebutlah yang akan dikembangkan dalam dunia pendidikan.
Dengan demikian, pendidikan merupakan alat atau media dalam mengembangkan
dimensi yang ada dalam diri manusia.
Tujuan pokok akhlak ialah "agar setiap manusia berbudi pekerti
(berakhlak), bertingkah laku, berperangai atau beradat istiadat yang baik, yang
sesuai dengan ajaran Islam". Masih mengenai tujuan akhlak menurut
Akmal Hawi ialah "agar setiap manusia
dapat bertingkah laku dan bersifat baik serta terpuji”. Akhlak yang mulia
terlihat dari penampilan sikap pengabdianya kepada Allah SWT, dan kepada
lingkungannya baik kepada sesama manusia maupun terhadap alam sekitarnya.
Dengan akhlak yang mulia manusia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.
Akhlak
dan pendidikan sangat berkaitan dengan erat. Seseorang tanpa mendapatkan
pendidikan yang baik tidak dapat berakhlak dengan baik pula. Orang yang
berakhlak baik, melakukan kebaikan secara spontan tanpa pamrih apapun, demikian
juga orang yang berakhlak buruk, melakukan keburukan secara spontan tanpa
mempertimbangkan akibat bagi dirinya maupun bagi yang dijahati. Manusia tidak
ada yang secara tiba-tiba menjadi orang bijak atau tiba-tiba menjadi penjahat
besar. Untuk menjadi orang bijak atau menjadi penjahat besar manusia butuh
proses yang mengantarnya pada keadaan itu. Karena akhlak adalah keadaan batin,
maka pendidikan akhlak objeknya adalah batin seseorang. Meski demikian bukan
berarti menafikan yang lahir, karena antara lahir dan batin ada hubungan saling
mempengaruhi. Orang yang hatinya baik, pada umumnya perilaku lahirnya (sopan
santunnya) baik, tetapi tidak semua orang yang memiliki sopan santun akhlaknya
baik. Penanaman disiplin atau pembiasaan pola tingkah laku lahir yang baik
(sopan santun), pada orang tertentu dapat menjadi proses pembentukan akhlak
yang baik, tapi pada orang lain bisa juga menumbuhkan sifat munafik (pura-pura
baik). Demikian juga pembiasaan pola tingkah laku buruk, pada seseorang bisa
menjadikannya orang jahat, tetapi pada orang lain mungkin akan melahirkan sikap
resistensi secara ekstrim kepada keburukan. Hal itu disebabkan karena setiap
orang sebenarnya memiliki "modal" kepribadian atau kapasitas yang
berbeda-beda, ada yang kuat dorongan kebaikannya dan ada yang sebaliknya.
Kebanyakan ahli-ahli pendidikan berpendapat bahwa
anak-anak didik dalam suatu ruangan kelas hendaknya sebaya umurnya dan
tingkatkan kecerdasannya. Hal itu untuk menjaga agar budi pekerti mereka tidak
terpengaruhi oleh anak-anak didik yang lebih berumur atau yang lebih tua yang
sudah mengetahui bermacam-macam perbuatan yang tidak baik di luar sekolah.
Pergaulan menjadikan anak-anak didik hampir serupa tingkah lakunya. Seolah-olah
mereka sudah bersatu dalam tindak tanduknya. Mungkin semua menjadi baik atau
sebaliknya. Begitu pun menularnya sifat buruk atau baik, sabda Rasulullah “Sifat seseorang sama dengan orang yang
disukainya (teman sepergaulan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar