by. andy.ansyah20@gmail.com
A.
Pengantar
Setiap ilmu
tidak mungkin dapat berdiri sendiri, artinya harus mempunyai hubungan dengan
ilmu-ilmu yang lain, baik ilmu agama maupun non agama. Demikian halnya ilmu
akhlak, ilmu tersebut juga mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu yang lain, hal
itu dikarenakan kita sebagai manusia tidak mungkin mempelajari satu macam ilmu
saja, tetapi berbagai macam ilmu.
Berbagai
macam ilmu pengetahuan sebenarnya mempunyai induk yang sama yaitu filsafat.
Filsafat merupakan induk dari semua ilmu termasuk ilmu akhlak, dan ilmu akhlak
merupakan salah satu cabang dari filsafat, maka dari itu antara cabang satu
dengan cabang yang lain pasti mempunyai hubungan.
Sebelum kami
memulai pembahasan mengenai hubungan tersebut, nampaknya tidak etis kalau kita
tidak mengetahui dahulu pengertian ilmu akhlak. Maka dibawah ini kami sebutkan
pengertian ilmu akhlak, walaupun sebenarnya hal itu sudah ada pada pembahasan
yang lalu.
Menurut Dr.
Taufiq at Tawil :
“Ilmu akhlaq
ialah ilmu yang menggariskan modul contoh utama yang wajar diikuti oleh manusia
dalam tingkah-lakunya.” Atau seperti yang dijelaskan oleh Dr. Zakaria Ibrahim
bahwa ahli falsafah hampir sepakat mengatakan bahawa ilmu akhlak ialah ilmu
yang berusaha menemukan contoh-contoh tingkah laku manusia yang utama,
menggasaskan konsep dan pengertian, menentukan apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia dalam tingkah lakunya.
Menurut
Prof. Dr. Omar Attoumi Asy-Syaibini:
“Ilmu akhlak
ialah ilmu yang mengkaji hakikat atau sifat tingkah laku yang berakhlak,
hakikat kebaikan (al-khair) dan keburukan (asy-syar), hak dan kewajipan, hati
-nurani (conscience), hukum-hukum ahklak, tanggung jawab akhlak, motivasi dan
tujuan tingkah laku. Ilmu ini juga meneliti asas-asas teori yang menjadi dasar
keyakinan akhlak, menentukan contoh-contoh utama, kaedah umum yang seharusnya
menjadi pedoman tingkah laku manusia.”
Lebih jelas
Dr. Miqdad Yalchin menakrifkan akhlak sebagai ‘prinsip’ dan kaedah yang
mengatur tingkah laku (perangai) manusia yang ditentukan oleh wahyu dalam
konteks mengatur kehidupan manusia di dunia untuk mencapai matlamat wujudnya
yang paling sempurna.
Uraian-uraian
yang diberikan oleh para ulama membayangkan bahwa akhlak Islam mengatur empat
perhubungan dasar:
1. Hubungan
manusia dan jin dengan Allah (Pencipta).
2. Hubungan
manusia dan jin sesamanya.
3. Hubungan
manusia dan jin dengan alam.
4. Hubungan
manusia dan jin terhadap dirinya sendiri.
Jadi yang
dimaksud ilmu akhlak adalah ilmu yang mengkaji prinsip yang mengatur tingkah
laku manusia yang aturannya sudah jelas terdapat dalam wahyu yang tujuannya
untuk mencapai kehidupan yang teratur.
Maka dari
itu akhlak sebagai ilmu mempunyai hubungan dengan ilmu pengetahuan yang lain.
Sebenarnya akhlak mempunyai hubungan dengan berbagai macam ilmu yang jumlahnya
sangat banyak, bahkan dapat dikatakan setiap ilmu pengetahuan berhubungan
dengan ilmu akhlak. Tetapi di sini kami hanya membatasi hubungan dengan ilmu
yang kami anggap penting. Karena pembahasan mengenai hubungan antara ilmu
akhlak dengan berbagai disiplin ilmu yang lain belum dibahas secara mendetail,
maka penulis akan berusaha untuk membahas secara lebih mendetail.
B.
Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Tasawuf.
Dalam rangka
membahas lebih mendalam tentang hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf, kita
harus mengetahui dahulu pengertian tasawuf secara global. Karena pembahasan
mengenai pengertian secara lebih mendalam akan dibahas tersendiri. Namun untuk
memulai pembahasan ini, maka paling tidak kita mengetahui tentang apa yang
terkait dengan yang akan kita bicarakan.
Secara
etimologi, pengertian tasawuf dapat dilihat menjadi beberapa macam pengertian,
seperti dibawah ini:
Pertama,
tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan ahlu suffah, yang
berarti sekelompok orang di masa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam di
serambi-serambi masjid. Kedua yaitu berasal dari kata shafa yang artinya bersih
atau suci. Ketiga ada yang mengatakan berasal dari kata shaf yang berarti
barisan dalam shalat.
Sedangkan
secara terminologi terdapat beberapa pendapat, antara lain menurut
Muhammad Amin al-Kurdi:
Menurut
istilah yaitu ilmu yang dengan ilmu tersebut dapat diketahui keadaan jiwa yang
terdiri dari terpujinya jiwa dan buruknya dan cara mensucikannya dari sifat
tercela serta menghiasinya dengan sifat terpuji dan juga caranya beribadah,
berjalan dan berlari kepada Allah.
Ma’ruf
Al-Kurkhi
“Tasawuf
adalah mengambil hakikat- hakikat dan tidak tertarik pada apa yang ada di
tangan makhluk (kesenangan duniawi)”.
Jadi yang dimaksud
dengan ilmu tasawu yaitu ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri,
memerangi hawa nafsu, mencari jalan menuju kepada-Nya dengan menjalankan
syariat yaitu meninggalkan perbuatan tercela dan menghiasi dengan perbuatan
terpuji.
Para ahli
tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf
falsafi, kedua tasawuf akhlaki dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf
ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara
membersihkan diri dari perbuatan tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan
yang terpuji.
Jadi untuk
mencapai tujuan bertasawuf yang dicita-ditakan seseorang harus berakhlak baik
terlebih dahulu. Orang yang bertasawuf akhlaknya harus baik dan terpuji karena
ia bertujuan untuk mendekatkan diri kepda Allah.
Ketiga macam
tasawuf ini berbeda dalam pendekatan yang digunakan. Pada tasawuf falsafi
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikira, karena
dalam tasawuf ini menggunakan bahan kajian atau pemikiran yang terdapat
dikalangan para filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan
Tuhan dengan manusia. Selanjutnya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli yang berarti
membersihkan diri sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin.
Tahalli berarti mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan taat lahir
dan batin. Tajalli yang berarti terungkapnya nur ghaib untuk hati.
Sedangkan tasawuf amali, pendekatan yang digunakan ialah pendelatan beramal
seperti wirid dll, yang selanjutnya mengambil bentuk tarekat.
Dengan
mengamalkan ketiga tasawuf tersebut atau salah satu dari ketiganya, maka
seseorang akan berakhlak baik dengan sendirinya, tidak terpaksa dan juga secara
sadar. Karena pada intinya tasawuf menyuruh untuk berakhlak baik, yang hal itu
dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Hubungan
antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian
yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari tasawuf ternyata
pula bahwa al qur’an dan al hadist mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan al-hadits
menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa
kesosialan, keadila, tolong-menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar,
baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian,
hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus.
Nilai-nilai ini serupa dengan yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan
dimasukkan kedalam dirinya dari semasa ia kecil.
Sebagaimana
yang telah kita ketahui bersama dalam dalam ajaran tasawuf, ibadah mempunyai
tempat yang amat penting. Karena pada hakekatnya beribadah tersebut mempunyai
tujuan yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Dan ibadah dalam agama islam sangat
mempengaruhi akhlak sesorang misalnya, sholat, puasa.
Dalam
hubungan ini Harun Nasuton lebih lanjut lagi mengatakan, bahwa ibadah dalam
Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Qur’an
dikaitkan dengan taqwa, dan taqwa berarti melaksanakan perintahNya dan menjauhi
laranganNya. Maka yang dinamakan orang yang bertaqwa yaitu orang yang berbuat
baik dan menjauhi perbuatan jelek (tidak baik).
Hal inilah
yang dimaksud ayat dalam al-Qur’an bahwa sesungguhnya shalat itu dapat mencegah
dari perbuatan keji dan munkar. Maksudnya setiap ibadah apabila dikerjakan
secara sungguh-sungguh akan mempunyai dampak positif bagi yang mengerjakan
yaitu akan berakhlak baik dan mulia.
Harun
Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan
ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu
dalam istilah sufi disebut dengan Attakhaluq bi akhlaqillah, yaitu
berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah atau al-ittishaf bi shifatillah,
yaitu menshifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah.
Jadi pada
intinya tasawuf dapat memperbaiki atau mengubah akhlak seseorang yang melakukan
hal itu. Karena seseorang tersebut bertujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Sedangkan orang yang mendekatkan diri kepada Allah harus berakhlak mulia
dan terpuji.
C.
Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Tauhid
Ilmu tauhid
mempunyai banyak nama, ilmu tauhid sendiri berarti ilmu yang bertujuan
meng-Esakan Tuhan. Di samping itu ilmu tauhid juga dinamakan ilmu ushul al-din
karena dipandang sebagai dasar pokok keagamaan, ada juga yang menamai dengan
teologi yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti ketuhanan, ada juga yang
menamai dengan nama ilmu kalam yang hal itu dikaitkan dengan kalam Allah yang
ada dalam al-Qur’an.
Sedangkan
secara istilah ilmu kalam menurut Muhammad Abduh ialah: ilmu yang berisi
alasan-alasan/sekumpulan argumentasi guna mempertahankan kepercayaan iman
dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap
pemikiran yang menyimpang dari kepercayaan salaf dan ahlu sunnah. Jadi dapat
diambil kesimpulan bahwa ilmu tauhid ilmu yang berupaya meyakini dan memahami
adanya Tuhan dengan segala sifat dan perbuatan-Nya.
Hubungan
antara ilmu akhlak dengan ilmu tauhid dapat dilihat dengan melalui beberapa
analisis sebagai berikut:
Pertama,
dilihat dari obyek pembahasannya. Ilmu tauhid sebagaimana diuraikan diatas
membahas masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatanNya. Kepercayaan
yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu, akan menjadi landasan untuk
mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan manusia, sehingga amal perbuatan yang
dilakukan manusia semata-mata akan tertuju karena Allah. Dengan demikian ilmu
tauhid akan mengarahkan manusia menjadi ikhlas dan keikhlasan ini termasuk
akhlak yang mulia.
Allah
berfirman:
وما امروا الا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء
ويقيموا الصلواة ويؤتواالزكاة وذلك دين القيمة.
“padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepadaNya dalam (menjalankan )agama dengan lurus.”
Kedua,
dilihat dari segi fungsinya, ilmu tauhid menghendaki agar seseorang yang
bertauhid tidak hanya cukup dengan menghapal rukun iman yang enam dengan
dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid
itu meniru dan mencontoh terhadap subyek yang terdapat dalam rukun iman itu. Rukun
iman erat sekali kaitannya dengan pembinaan akhlak yang mulia. Dalam al-Qur’an
maupun as sunnah, iman dan amal saleh sering kali dijelaskan secara bersamaan.
Jika kita
percaya kepada Allah dan Allah memiliki sifat-sifat yang mulia, maka sebaiknya
manusia yang percaya meniru sifat-sifat Tuhan itu, contoh: Allah bersifat Maha
pengasih dan Maha penyayang, maka sebaiknya manusia meniru sifat tersebut
dengan mengembangkan kasih sayang dimuka bumi dan sesame manusia.
Jika orang
beriman kepada malaikat, maka hendaklah manusia mengembangkan sifat yang
dimiliki malaikat, seperti jujur, amanah, selalu konsequen terhadap perintah.
Di samping itu percaya kepada malaikat akan melahirkan perasaan selalu diawasi
oleh malaikat, maka manusia akan terdorong untuk berbuat baik dan berakhlak
mulia. Allah berfirman:
ما يلفظ من قول الا لديه رقيب عتيد
“Tiada suatu
ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir.”
Sementara
itu beriman kepada kitab, khususnya al-Qur’an, maka seseorang akhlaknya harus
sesuai dengan al-Qur’an, yaitu mengamalkan segala perintah dan menjauhi
larangan yang sudah ditentukan dalam al-Qur’an. Dengan demikian hal itu akan
mengakibatkan seseorang berakhlak mulia.
Selanjutnya
beriman kepada rasul, khususnya Nabi Muhammad SAW dan para rasul pada umumnyam
harus disertai dengan upaya mencontoh dan menerapkan akhlaknya dalam kehidupan
sehari-hari. Bahkan al qur’an sendiri mengatakan bahwa nabi Muhammad itu
berakhlak mulia seperti yang ada dalam surah al-ahzab ayat 21. Hal itu dapat
diperkuat lagi dengan meniru sifat-sifat wajib rasul, maka akan menjadikan
manusia berakhlak mulia.
Demikian
pula beriman kepada hari akhir, dari sisi akhlak harus diimbangi dengan beramal
yang baik karena segala amal perbuatan manusia di dunia akan dimintai
pertanggungjawabannya nanti di akhirat. Maka dari itu keimanan kepada hari
akhir akan dapat memotivasi seseorang untuk beramal yang sholeh dan orang yang
beramal sholeh dan bertaqwa selalu orang yang berakhlak mulia.
Selanjutnya
beriman kepada qada’ dan qadar (takdir) erat sekali kaitannya dengan akhlak .
Seseorang yang beriman kepada qada’ dan qadar senantiasa bersyukur terhadap apa
yang sudah ditakdirkan dan menerimanya dengan lapang dada. Hal ini termasuk
akhlak yang mulia, karena orang biasanya sulit sekali menerima keadaan
tersebut.
Berdasarkan
analisis yang sederhana ini, tampak jelas bahwa rukun iman yang enam ternyata
erat kaitannya dengan pembinaan akhlak yang mulia. Dengan demikian, dalam
rangka pengembangan ilmu akhlak, bahan-bahannya dapat digali dari ajaran tauhid
atau keimanan tersebut.
Hubungan
ilmu tauhid dengan ilmu akhlak dapat pula dilihat dari eratnya iman dengan amal
sholeh. Baik dalam al-Qur’an maupun al-hadist banyak sekali yang menyebutkan
secara beriringan tentang iman dan amal sholeh karena keduanya saling
berkaitan. Misalnya dalam al-Qur’an:
قد افلح المؤمنون. الذين هم في صلوتهم خاشعون. والذين هم
عن اللغو معرضون. والذين هم عن الزكاة فاعلون. والذين هم لفرجهم حافظون.
“
sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang berima, yaitu mereka yang sholatnya
khusyu’ dan yang menjauhkan diri dari (perkataan dan perbuatan) yang tidak
berguna. Dan yang membayar zakat. Dan mereka yang menjaga kesopanan.”
Dan hadits:
لايؤمن احدكم حتى يحب لخيه ما يحب لنفسه
“ Tidak
sempurna iman seseorang sehingga ia mau mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri.”
Ayat dan
hadits di atas merupakan contoh yang bertemakan iman yang mempunyai hubungan
dengan akhlak baik. Maka dapat diambil kesimpulan dan dapat dilihat dengan
jelas bahwa terdapat hubungan antara ilmu tauhid yang membahas keimanan dengan
ilmu akhlak yang membahas perbuatan baik. Ilmu tauhid tampil sebagai memberikan
landasan terhadap ilmu akhlak, dan ilmu akhlak memberikan penjabaran dan
pengamalan dari ilmu tauhid. Ilmu tauhid tanpa akhlak yang mulia tidak ada
artinya, dan akhlak mulia tanpa tauhid tidak akan kokoh. Selain itu tauhid
memberikan pengarahan terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi terhadap
pengarahan tersebut. Maka di sinilah letak hubungan erat antara ilmu tauhid
dengan ilmua akhlak.
D.
Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Jiwa(Psikologi)
Sebelum kita
berbicara lebih jauh mengenai hubungan ilmu akhlak dengan ilmu jiwa, hendaklah
kita melihat sejenak mengenai pengertian psikologi (ilmu jiwa).
Psikologi
adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami perilaku manusia, alasan dan
cara mereka melakukan sesuatu, dan juga memahami bagaimana makhluk tersebut
berpikir dan berperasaan. Atau Edwin G Boring mendefinisikan psikologi secara
lebih sederhana yakni “Psikologi ialah studi tentang hakekat manusia.”
Jadi
psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa yang didasarkan pada perilaku atau
gejala yang nampak.
Dilihat dari
bidang garapannya, Ilmu jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang
tampak dalam tingkah laku. Melalui ilmu jiwa dapat diketahui sifat-sifat
psikologis yang dimiliki seseorang. Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat
serta dekat dengan Tuhan misalnya, akan melahirkan perbuatan dan sikap yang
tenang pula, sebaliknya jiwa yang kotor, banyak berbuat kesalahan dan jauh dari
Tuhan akan melahirkan perbuatan yang jahat, sesat dan menyesatkan orang lain.
Dengan demikian ilmu jiwa mengarahkan atau memusatkan pembahasannya pada aspek
batin dengan cara melihatnya melalui aspek yang tampak.
Di dalam
al-Qur’an hal ini diungkapkan dengan istilah al insan yaitu sesuatu yang
berkaitan dengan manusia dan aktivitasnya, misalnya tentang belajar, tentang
musuhnya, penggunaan waktunya, keterkaitannya dengan moralitas dan akhlak dan
masih banyak lagi yang berkaitan dengan ini.
Sebenarnya
hasil telaah diatas menggambarkan adanya hubungan yang erat antara potensi
psikologi dengan ilmu akhlak. Atau dengan kata lain melalui bantuan informasi
yang diberikan psikologi atau potensi yang diberikan oleh al qur’an, maka ilmu
akhlak dapat dibengun dengan kokoh.
Hal ini
lebih lanjut dapat kita jumpai dalam uraian mengenai akhlak yang diberikan oleh
Quraish Shihab, dalam buku terbarunya wawasan al qur’an. Di situ ia antara lain
mengatakan: kita dapat berkata bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita
akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik dan juga sebaliknya. Ini
berarti menusia memiliki kedua potensi tersebut.
Namun
demikian dalam kesimpulannya, Quraish Shihab berpendpat bahwa walaupun kedua
potensi ini (baik dan buruk) terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan
isyarat-isyarat dalam Al Qur’an behwa kebajikan lebih dulu menghiasi diri
manusia daripada kejahatan, dan bahwa pada dasarnya manusia cenderung pada
kebajikan.
Kecenderungan
manusia kepada kebajikan ini terbukti dari adanya persamaan konsep-konsep pokok
moral pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan jika terjadi pada
bentuk, penerapan atau pengertian yang tidak sempurna dalam konsep-konsep
moral yang disebut ma’ruf dalam bahasa al-Qur’an. Tidak ada peradaban yang menganggap
baik kebohongan, penipuan atau keangkuhan. Tidak ada manusia yang menilai bahwa
penghormatan kepada kedua orang tua adalah buruk.
Uraian
tersebut memberikan pengertian bahwa manusia dapat mengetahui baik buruk dengan
menggunakan akalnya, atau dirinya sendiri. Akan tetapi akal manusia yang dapat
mengetahui baik buruk terbatas, maka dari itu masih memerluka informasi tentang
baik buruk yang asalnya dari wahyu Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa sumber
moral ajaran akhlak berasal dari akal pikiran dan potensi yang dimiliki manusia
dan selanjutnya disempurnakan oleh petunjuk wahyu. Bukti mengenai hal itu dapat
dijumpai dalam pemikiran teologi Muktazilah. Sekilas tentang pemikiran:
pengetahuan tentang baik burk dapat diketahui dengan akal, dan jika manusia
tidak dapat mengetahuinya dengan akal maka Tuhan wajib menurunkan wahyu-Nya.
Berdasarkan
uraian di atas, maka Quraish Shihab lebih lanjut mengatakan bahwa tolok ukur
kelakuan baik buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Apa yang dinilai
baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak
mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan
esensinya buruk.
Uraian di
atas menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat potensi ruhaniah yang
cenderung kepada kebaikan dan keburukan. Potensi tersebut lebih mendalam lagi
dikaji dalam ilmu psikologi. Jadi untuk dapat mengembangkan akhlak kita dapat
memanfaatkan informasi dari psikologi.
Selain itu,
di dalam ilmu jiwa juga terdapat informasi tentang perbedaan psikologis yang
dialami seseorang pada setiap jenjang usianya. Gejala
psikolgis seperti ini akan memberikan informasi tentang
perlunya menyampaikan ajaran akhlak sesuai dengan perkembangan jiwanya. Dalam
kaitan ini dapat dirumuskan sejumlah metode dalam menanamkan akhlak yang mulia.
Dengan demikian ilmu jiwa dapat juga memberikan masukan dalam rangka merumuskan
metode dan pendekatan dalam pembinaan akhlak.
E.
Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Pendidikan
Menurut
Prof. Brodjonegoro ilmu pendidikan atau paedagogi adalah teori pendidikan,
perenungan tentang pendidikan. Dalam arti yang luas paedagogi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari soal-soal yang timbul dalam praktek pendidikan.
Sebenarnya istilah pendidikan dalam bahasa arab yaitu tarbiyah, ta’dib atau
ta’lim. Jadi pada intinya ilmu pendidikan adalah ilmu yang digunakan
mempelajari proses pendewasaan manusia yang disertai tanggung jawab moral.
Dalam ilmu ini dibahas : tujuan pendidikan, kurikulum, metode dll. Tetapi semua
aspek pendidikan ditujukan pada tercapainya tujuan pendidikan.
Imam Ghazali
mengatakan tujuan pendidikan agama Islam yang hendak dicapai adalah; pertama
kesesmpurnaan manusia yang pada puncaknya adalah dekat dengan Allah. Kedua
kesempatan manusia yang puncaknya kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Kesempurnaan yang dimaksud adalah kebahagiaan didunia dan di akhirat serta
menjadi insan kamil.
Di samping
masih banyak ahli-ahli lain yang merumuskan tujuan pendidikan islam yang kami
tidak etis kalau menyebutnya satu per satu disini. Pada intinya tujuan
pendidikan islam adalah terbentuknya seorang hamba Allah yang patuh, tunduk
serta melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya serta memiliki
sifat-sifat dan akhlak yang mulia.
Rumusan ini
dengan jelas menggambarkan bahwa antara pendidikan islam dan ilmu akhlak
ternyata sangat berkaitan erat. Pendidikan islam merupakan sarana yang
mengantarkan anak didik agar menjadi orang yang berakhlak.
Pendidikan
dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan orang tua di rumah, guru di sekolah
dan pimpinan serta tokoh masyarakat di lingkungan. Kesemua lingkungan ini
merupakan bagian integral dari pelaksanaan pendidikan yang berarti pula tempat
dilaksanakan pendidikan akhlak.
F.
Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Filsafat
Sebelum kita
berbicara lebih jauh lagi, hendaklah kita mengetahui dahulu mengenai yang
dimaksud filsafat. Pada asal katanya filsafat berasal dari kata Philosophia
yang berarti cinta kepada kebenaran, juga ada yang berasal dari bahasa
Arab yaitu falsafah. I.R Poedjawijatna, filsafat ialah ilmu yang berusaha
mencari sebab sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.
Berpikir
filsafat harus memenuhi beberapa kriteria antara lain harus sistematis, harus
konsepsional, harus koheren, harus rasional, harus sinoptik(menyeluruh) harus mengarah
kepada pandangan dunia. Jadi dalam berpikir filsafat yang dibahas ialah hakikat
segala sesuatu, dan sifatnya menyeluruh juga radikal.
Diantara
obyek filsafat yang erat kaitannya dengan ilmu akhlak adalah tentang manusia.
Para filosof muslim seperti Ibn Sina (980-1037M) dan al Ghazali memiliki
pemikiran tentang manusia sebagaimana terlihat dalam pemikirannya tentang jiwa.
Ibn Sina
misalnya mengatakan bahwa jiwa manusia merupakan satu unit tersendiri dan
mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali
ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini. Sungguhpun
jiwa manusia tak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan dengan demikian tak
berhajat pada berpikir, jiwa masih berhajat pada badan. Karena pada permulaan
wujudnya, badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berpikir. Pancaindra
dan daya-daya jiwa yang lain yang menolong jiwa untuk memperoleh konsep dan ide
dari alam sekelilingnya. Jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia
berpisah dengan badan, maka selamanya ia berada dalam kesenangan, jika ia
berpisah ia tidak sempurna, karena ketika bersatu dengan badan ia dipengaruhi
hawa nafsu badan, maka ia akan menyesal selamanya. Uraian di atas memberikan
petunjuk bahwa dalam pemikiran filsafat terdapat bahan atau sumber yang dapat
dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah konsep akhlak.
Al-Ghazali
membagi manusia ke dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut: kaum awam, yang
cara berfikirnya sederhana sekali. Kaum pilihan (khavas; elect) yang akalnya
tajam dan berpikir secara mendalam. Kaum ahli debat (ahl al-jadl).
Pembagian ini didasarkan pada berbeda-bedanya sifat-sifat mereka.
Pemikiran Al
Ghazali ini memberi petunjuk adanya perbedaan cara dan pendekatan dalam
menghadapi orang sesuai dengan tingkat dan daya tangkapnya. Pemikiran yang
demikian akan membantu dalam merumuskan metode, cara, dan pendekatan yang tepat
dalam mengajarkan akhlak.
Gambaran
tentang manusia yang terdapat dalam pemikiran filosofis itu akan memberika
masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara
membina manusia, memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dan sebagainya.
Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam
menciptakan kehidupan yang aman dan damai.
Selain itu
filsafat juga membahas tentang Tuhan, alam dan makhluk lainnya. Dari pembahasan
ini akan dapat diketahui dan dirumuskan cara berhubungan dengan Tuhan dan
makhluk lainnya. Dengan demikian akan diwujudkan akhlak yang baik terhadap
Tuhan, tehadap manusia, alam dan makhluk Tuhan lainnya.
G.
Kesimpulan
- Pengamalan tasawuf baik
falsafi, akhlaki dan amali akan dapat mengubah akhlak seseorang yang
menjalankan hal itu. Jadi dengan tasawuf akhlak seseorang akan berubah
menjadi baik.
- Orang yang mempelajari ajaran
tauhid dan mengamalkan sesuai dengan ajarannya itu akan menjadi berakhlak
mulia. Karena orang tersebut selalu merasa diawasi oleh Allah SWT.
- Konsep-konsep kejiwaan yang
diberikan oleh Ilmu jiwa akan dapat digunakan untuk pembinaan akhlak. Dan
juga ilmu akhlak dapat dibangun dengan menggunakan informasi yang
diberikan oleh ilmu jiwa.
- Pendidikan Islam merupakan
sarana yang mengantarkan anak didik agar menjadi orang yang berakhlak.
Karena tujuan pendidikan islam adalah membentuk insan kamil. Disamping itu
tempat pelaksanaan pendidikan juga merupakan tempat pelaksanaan pendidikan
akhlak.
- Filsafat yang pemikirannya
terdapat studi mengenai hakekat manusia dapat menjadi masukan yang berguna
dalam merencanakan dan merancang cara-cara membina manusia dan metode juga
pendekatan yang tepat untuk membina akhlak.