Selasa, 14 Oktober 2014

Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu-Ilmu Lain




A.  Pengetian Ilmu Akhlak
Tersusun  atas dua perkataan itu bisa di sorot pengertiannya dari segi idhafy. Secara idhafy, ilmu akhlak, adalah segala macam ilmu yang ada kaitannya dengan akhlak”. Dalam pengertian seperti itu, maka daya jangkauannya menjadi luas sekali, termasuklah kedalamnya antara lain ilmu jiwa ( psychology ), ilmu logika  ( ilmu manthiq ), ilmu sosiologi, ilmu aestetika ( terminologo ), maka ada pula beberapa devinisi.
Menurut Al-Mas’udi dalam bukunya “Taisirul khallaq fieilmiah” dirumuskan, bahwa ilmu akhlak:” qaidah-qaiadah yang dipergunakan untuk mengetahui kebaikan hati dan panca indra “[1]. Sedang Al-Bustamy merumuskan sebagai:” ilmu mengenai keutamaan dan cara memperolehnya serta mencelupkannya kedalam pribadi, kenistaan dan acara-cara menghindarinya.[2]
Ahmad Amin mendefinisikan ilmu Akhlaq sebagai berikut:”ilmu Akhlaq ialah: ilmu yang menjelaskan apa yang sepatutnya diperbuat sebagian orang kepada lainnya dalam pergaulan, menjelaskan tujuan yang sepatutnya dituju manusia menunjukan jalan apa yang selayaknya diperbuat”.

B.  Hubungan Ilmu Akhlaq dengan Ilmu-ilmu Lainnya
1.      Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu Tauhid
Hubungan ilmu Akhlak dengan ilmu Tauhid dapai dilhat dari analis berikut ini diantaranya :
a.       Dilihat dari segi obyek pembahasannya yaitu menguraikan masalah Tuhan baik dari segi zat,sifat dan perbuatannya, dengan demikian Ilmu Tauhid akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas, dan keihlasan itu merupakan salah satu akhlak mulia.
b.      Dilihat dari fungsinya, ilmu Tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan menyontoh terhadap subyek yang terdapat dalam rukun iman itu. Dengan demikian beriman kepada rukun iman yang enam itu akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak mulia.
Jadi jelas bahwa ilmu tauhid sangat erat kaitannya dengan pembinaan akhlak yang mulia. Dengan demikian dalam rangka pengembangan Ilmu akhlak, bahan-bahannya dapat digali dari ajaran tauhid dan keimanan tersebut.
2.      Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf
Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dann lain sebagianya, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkatkan diri kepada Allah, ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Al-qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahimunkar, mengajakan orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada paembinaan akhlak mulia dalam diri mereka.  
   
3.      Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu jiwa ( ilmu-nafs )
Ilmu jiwa suatu ilmu yang menyelidiki bekas-bekas jiwa seseorang seperti: pengetahuan, perasaan dan kemauannya, dan dalil bekas dan akibatnya mengambil faidah dari padanya.
Dengan lain perkataan, ilmu jiwa sasarannya meneliti peranan yang dimainkan dalam perilaku manusia. Karenanya dia meneliti tentang suara hati ( dhamir ), Kemauan ( iradah ), daya ingatan, hafalan, dan pengertian, sangkaan yang ringan, ( waham ) dan kecenderungan-kecenderungan
( awathif ) manusia. Itu semua menjadi lapangan kerja jiwa, yang menggerakan manusia untuk berkata dan berbuat. Oleh karena itu ilmu jiwa merupakan muqaddimah yang pokok sebelum mengadakan kajian ilmu akhlak. Dikatakan oleh Prof. ahmad Luthfi”, tanpa dibantu oleh jiwa, orang tidak akan dapat menjabarkan dengan baik tugas ilmu akhlaq”. 
4.      Hubungan ilmu Akhlak dengan logika ( ilmu manthiq )
Ilmu manthiq ( logic ) aadalah pengetahuan yang menggariskan qaidah-qaidah dan umdang-undang berpikir, sehingga terpelihara manusia dalam berfikir. Jelasnya ilmu manthiq itu untuk membersikan jiwa dan memperhalusnya supaya dapat berfikir secara baik, mendidik pikiran dan menjaganya agar terhindar dari kekeliruan dalam membuat suatu hukum yang didasarkan kepada pikiran.
Kalau dipandang ilmu manthiq sebagai alat penimbang mengotrol dan neneriksa sesuatu yang berasal dari pikiran, maka dia kuat sekali ikatannya dengan ilmu akhlak dari dua segi:
a.       Ilmu manthik dan ilmu akhlak, masing-masing bertugas sebagai penimbang sesuatu. Kalau ilmu akhlak merumuskan aturan-aturan di mana manusia harus berprilaku sesuai dengan aturan itu, maka ilmu manthiq merumuskan aturan-aturan dimana manusia harus berpikir sesuai dengan aturan yang telah dirumuskan itu.
b.      Ilmu manthiq dan ilmu akhlak keduanya membahas dan meneliti manusia dari segi yang bersifat kejiwaan, dengan catatan, ilmu akhlak menyorot manusia dari segi tingkah lakunya sedang ilmu manthiq menyorot dari segi hasil pikirannya.[3]
Oleh karena itu ilmu manthiq sebagai kunci untuk mengerti filsafat, dalam pengertian, orang yang tidak memahami ilmu manthiq tidak akan bisa memahami filsafat. Ilmu akhlak disebut juga dengan filsafat akhlak, maka orang tidak akan mengerti filsafat akhlak bila tidak mengerti manthiq. Dari uraian diatas dapat disimpulakan bahwa terarah dan baik atau tidak sesuai prilaku sangat tergantung dan dipengaruhi kepada baik tidaknya dalam berfikir.
5.      Hubungan ilmu Akhlak dengan ilmu aestetika ( ilmu jamal )
Ilmu Aestetika, adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang manusia dari aspek kelazatan-kelazatan yang ditimbulkan oleh sesuatu pemandangan yang indah dalam diri manusia.
Kebanyakan ahli ilmu mengatakan, sangat erat hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu aestetika, tak obahnya laksana hubungan antara paman dengan keponakannya di mana diatasnya bertemu pada satu nasab atau keturunan. Hanya saja kalau ilmu akhlak yang menjadi sasarannya dari segi segi perilaku ( suluk ) maka ilmu aetetika sasarannya dari segi  kelezatan yang obyeknya tetap sama taitu diri manusia.
Allah menyuruh manusia memperhatikan pergantian malam dengan siang dan sesuatu yang diciptakan Allah, baik yang dilangit dan dibumi. Hal ini merupakan sebab yang paling kuat pengaruh kedalam jiwa yang membawa manusia mudah ber-iman kepada Allah. Dengan mengamati
( taammul ) alam semesta yang begitu indah dan kuat serta sedemikian rupa teraturnya menjadi tanda bagi orang yang taqwa.
Dalam surat Yunus ayat: 6, Allah berfirman:
   
Artinya: Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa.
Dari keterangan-keterangan di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa sangat erat hubungan antara ilmu aestetika dengan ilmu akhlak. Orang kalau sudah terbiasa dengan keindahan, maka langkah berikutnya dia akan senag kepada akhlak yang terpuji.
6.      Hubungan ilmu Akhlak dengan ilmu sosiologi ( ilmu ijtima’)
Secara etimologi Sosiologi berasal dari kata “Socius” yang berarti kawan dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang berkawan atau didalam arti luas, adalah ilmu pengetahuan yang berobyek hidup bermasyarakat”. Memang banyak pengertian ( ta’rif ) tentang sosiologi tentang, antara lain yang dikemukakan oleh P.J. bouman, Samuel Smith dan Ch. A. Ell wood, tekanannya kepada “masyarakat “, bukan kepada “hidup bermasyarakat”. Kita lebih tepat memakai pengertian yang memuat “hidup bermasyarakat”, karena masyarakat tidak mempunyai arti yang tepat. Ada masyarakat dalam arti luas, ialah kebulatan daripada semua perhubungan didalam hidup bermasyarakat. Sedangkan dalam arti sempit, ialah suatu kelompok manusia yang menjadi tempat hidup bermasyarakat, tidak dalam aspeknya, tetapi dalam berbagai-bagai aspek yang bentuknya tidak tertentu. Masyarakat dalam arti sempit ini tidak mempunyai arti yang tertentu, misalnya: masyarakat mahasiswa, masyarakat pedagang, masyarakat tani dan lain-lain.
 Dikatakan Ahmad Amin, bahwa pertalian antara Ilmu Sosiologi dengan Ilmu Akhlak erat sekali. Kalau Ilmu Akhlak yang dikaji tentang prilaku (suluk) ,artinya perbuatan dan tindakan manusia yang ditimbulkan oleh kehendak ,dimana tidak bisa terlepas kepada kajian kehidupan kemasyarakatan yang menjadi kajian Ilmu sosiologi.[4] Hal yang demikian itu dikarenakan manusia tidak mungkin melepaskan diri sebagai makhluk bermasyarakat. Dimanapun seseorang itu hidup , ia tidak bisa memisahkan dirinya lingkungan masyarakat dimana dia berada walaupun kadar pengaruh itu relative sifatnya.
Memang manusia adalah makhluk bersyarikat dan bermasyarakat,saling membutuhkan diantaranya sesamanya. Hal ini jelas sekali bila kita perhatikan firman Allah surat Al-Hujurat ayat : 13 :
    

Artinya :Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

7.      Hubungan antara akhlak dengan aqidah dan Iman
Sesungguhnya antara akhlak dengan aqidah dan iman terdapat hubungan yang sangat kuat sekali ,karena akhlak yang baik itu sebagai bukti dari keimanan dan akhlak yang buruk sebagai nukti atas lemahnya iman. Semakin sempurna akhlak seseorang muslim berarti semakin kuat imannya. Akhlak yang baik adalah bagian dari amal shaleh yang menambah keimanan dan memiliki bobot yang berat dalam timbangan. Pemiliknya sangat dicintai oleh nabi SAW dan akhlak yang baik adalah satu penyebab masuk jannahnya seseorang.
Akhlak yang baik dalam muamalah dengan Allah mencakup 3 perkara :
1.      Membenarkan berita-berita dari Allah
2.      Melaksanakan hukum-hukum-Nya
3.      Sabar dan ridha kepada takdirnya.

Hubungan ilmu Akhlak dengan ilmu pendidikan.
Ilmu pendidikan ilmu yang berbicara mengenai berbagai aspek yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Dalam ilmu ini antara lain dibahas tentang rumusan tujuan pendidikan, materi pelajaran (kurikulum), guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan, bimbingan, proses belajar-mengajar dan lain sebagainya.
Semua aspek pendidikan tersebut ditujukan pada tercapainya tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan ini dalam pandangan Islam banyak berhubungan dengan kualitas manusia yang berakhlak. Ahmad D. Marimba misalnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang Muslim,  yaitu menjadi hamba Allah yang mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. Sementara itu Mohd. Athiyah al-Abrasyi, mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan.







AKHLAK DAN ILMU PENGETAHUAN




 by. andy.ansyah20@gmail.com
A.    Pengantar
Setiap ilmu tidak mungkin dapat berdiri sendiri, artinya harus mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu yang lain, baik ilmu agama maupun non agama. Demikian halnya ilmu akhlak, ilmu tersebut juga mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu yang lain, hal itu dikarenakan kita sebagai manusia tidak mungkin mempelajari satu macam ilmu saja, tetapi berbagai macam ilmu.
Berbagai macam ilmu pengetahuan sebenarnya mempunyai induk yang sama yaitu filsafat. Filsafat merupakan induk dari semua ilmu termasuk ilmu akhlak, dan ilmu akhlak merupakan salah satu cabang dari filsafat, maka dari itu antara cabang satu dengan cabang yang lain pasti mempunyai hubungan.
Sebelum kami memulai pembahasan mengenai hubungan tersebut, nampaknya tidak etis kalau kita tidak mengetahui dahulu pengertian ilmu akhlak. Maka dibawah ini kami sebutkan pengertian ilmu akhlak, walaupun sebenarnya hal itu sudah ada pada pembahasan yang lalu.
Menurut Dr. Taufiq at Tawil :
“Ilmu akhlaq ialah ilmu yang menggariskan modul contoh utama yang wajar diikuti oleh manusia dalam tingkah-lakunya.” Atau seperti yang dijelaskan oleh Dr. Zakaria Ibrahim bahwa ahli falsafah hampir sepakat mengatakan bahawa ilmu akhlak ialah ilmu yang berusaha menemukan  contoh-contoh tingkah laku manusia yang utama, menggasaskan konsep dan pengertian, menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam tingkah lakunya.
Menurut Prof. Dr. Omar Attoumi Asy-Syaibini:
“Ilmu akhlak ialah ilmu yang mengkaji hakikat atau sifat tingkah laku yang berakhlak, hakikat kebaikan (al-khair) dan keburukan (asy-syar), hak dan kewajipan, hati -nurani (conscience), hukum-hukum ahklak, tanggung jawab akhlak, motivasi dan tujuan tingkah laku. Ilmu ini juga meneliti asas-asas teori yang menjadi dasar keyakinan akhlak, menentukan contoh-contoh utama, kaedah umum yang seharusnya menjadi pedoman tingkah laku manusia.”
Lebih jelas Dr. Miqdad Yalchin menakrifkan akhlak sebagai ‘prinsip’ dan kaedah yang mengatur tingkah laku (perangai) manusia yang ditentukan oleh wahyu dalam konteks mengatur kehidupan manusia di dunia untuk mencapai matlamat wujudnya yang paling sempurna.
Uraian-uraian yang diberikan oleh para ulama membayangkan bahwa akhlak Islam mengatur empat perhubungan dasar:
1. Hubungan manusia dan jin dengan Allah (Pencipta).
2. Hubungan manusia dan jin sesamanya.
3. Hubungan manusia dan jin dengan alam.
4. Hubungan manusia dan jin terhadap dirinya sendiri.
Jadi yang dimaksud ilmu akhlak adalah ilmu yang mengkaji prinsip yang mengatur tingkah laku manusia yang aturannya sudah jelas terdapat dalam wahyu yang tujuannya untuk mencapai kehidupan yang teratur.
Maka dari itu akhlak sebagai ilmu mempunyai hubungan dengan ilmu pengetahuan yang lain. Sebenarnya akhlak mempunyai hubungan dengan berbagai macam ilmu yang jumlahnya sangat banyak, bahkan dapat dikatakan setiap ilmu pengetahuan berhubungan dengan ilmu akhlak. Tetapi di sini kami hanya membatasi hubungan dengan ilmu yang kami anggap penting. Karena pembahasan mengenai hubungan antara ilmu akhlak dengan berbagai disiplin ilmu yang lain belum dibahas secara mendetail, maka penulis akan berusaha untuk membahas secara lebih mendetail.
B.     Hubungan  Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Tasawuf.
Dalam rangka membahas lebih mendalam tentang hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf, kita harus mengetahui dahulu pengertian tasawuf secara global. Karena pembahasan mengenai pengertian secara lebih mendalam akan dibahas tersendiri. Namun untuk memulai pembahasan ini, maka paling tidak kita mengetahui tentang apa yang terkait dengan yang akan kita bicarakan.
Secara etimologi, pengertian tasawuf dapat dilihat menjadi beberapa macam pengertian, seperti dibawah ini:
Pertama, tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan ahlu suffah, yang berarti sekelompok orang di masa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam di serambi-serambi masjid. Kedua yaitu berasal dari kata shafa yang artinya bersih atau suci. Ketiga ada yang mengatakan berasal dari kata shaf yang berarti barisan dalam shalat.
Sedangkan secara terminologi terdapat beberapa pendapat, antara lain menurut Muhammad  Amin al-Kurdi:
Menurut istilah yaitu ilmu yang dengan ilmu tersebut dapat diketahui keadaan jiwa yang terdiri dari terpujinya jiwa dan buruknya dan cara mensucikannya dari sifat tercela serta menghiasinya dengan sifat terpuji dan juga caranya beribadah, berjalan dan berlari kepada Allah.
Ma’ruf Al-Kurkhi
“Tasawuf adalah mengambil hakikat- hakikat dan tidak tertarik pada apa yang ada di tangan makhluk (kesenangan duniawi)”.
Jadi yang dimaksud dengan ilmu tasawu yaitu ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, memerangi hawa nafsu, mencari jalan menuju kepada-Nya dengan menjalankan syariat yaitu meninggalkan perbuatan tercela dan menghiasi dengan perbuatan terpuji.
Para ahli tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan yang terpuji.
Jadi untuk mencapai tujuan bertasawuf yang dicita-ditakan seseorang harus berakhlak baik terlebih dahulu. Orang yang bertasawuf akhlaknya harus baik dan terpuji karena ia bertujuan untuk mendekatkan diri kepda Allah.
Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam pendekatan yang digunakan. Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikira, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan kajian atau pemikiran yang terdapat dikalangan para filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan Tuhan dengan manusia. Selanjutnya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli  yang berarti membersihkan diri sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin. Tahalli berarti mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan taat lahir dan batin. Tajalli yang berarti terungkapnya nur ghaib untuk hati. Sedangkan tasawuf amali, pendekatan yang digunakan ialah pendelatan beramal seperti wirid dll, yang selanjutnya mengambil bentuk tarekat.
Dengan mengamalkan ketiga tasawuf tersebut atau salah satu dari ketiganya, maka seseorang akan berakhlak baik dengan sendirinya, tidak terpaksa dan juga secara sadar. Karena pada intinya tasawuf menyuruh untuk berakhlak baik, yang hal itu dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari tasawuf ternyata pula bahwa al qur’an dan al hadist mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan al-hadits menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadila, tolong-menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus. Nilai-nilai ini serupa dengan yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan dimasukkan kedalam dirinya dari semasa ia kecil.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama dalam dalam ajaran tasawuf, ibadah mempunyai tempat yang amat penting. Karena pada hakekatnya beribadah tersebut mempunyai tujuan yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Dan ibadah dalam agama islam sangat mempengaruhi akhlak  sesorang misalnya, sholat, puasa.
Dalam hubungan ini Harun Nasuton lebih lanjut lagi mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Qur’an dikaitkan dengan taqwa, dan taqwa berarti melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Maka yang dinamakan orang yang bertaqwa yaitu orang yang berbuat baik dan menjauhi perbuatan jelek (tidak baik).
Hal inilah yang dimaksud ayat dalam al-Qur’an bahwa sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Maksudnya setiap ibadah apabila dikerjakan secara sungguh-sungguh akan mempunyai dampak positif bagi yang mengerjakan yaitu akan berakhlak baik dan mulia.
Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu dalam istilah sufi disebut dengan Attakhaluq bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah atau al-ittishaf bi shifatillah, yaitu menshifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah.
Jadi pada intinya tasawuf dapat memperbaiki atau mengubah akhlak seseorang yang melakukan hal itu. Karena seseorang tersebut bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan orang yang mendekatkan diri kepada Allah harus berakhlak mulia dan terpuji.
C.    Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Tauhid
Ilmu tauhid mempunyai banyak nama, ilmu tauhid sendiri berarti ilmu yang bertujuan meng-Esakan Tuhan. Di samping itu ilmu tauhid juga dinamakan ilmu ushul al-din karena dipandang sebagai dasar pokok keagamaan, ada juga yang menamai dengan teologi yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti ketuhanan, ada juga yang menamai dengan nama ilmu kalam yang hal itu dikaitkan dengan kalam Allah yang ada dalam al-Qur’an.
Sedangkan secara istilah ilmu kalam menurut Muhammad Abduh ialah: ilmu yang berisi alasan-alasan/sekumpulan argumentasi guna mempertahankan kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap pemikiran yang menyimpang dari kepercayaan salaf dan ahlu sunnah. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu tauhid ilmu yang berupaya meyakini dan memahami adanya Tuhan dengan segala sifat dan perbuatan-Nya.
Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu tauhid dapat dilihat dengan melalui beberapa analisis sebagai berikut:
Pertama, dilihat dari obyek pembahasannya. Ilmu tauhid sebagaimana diuraikan diatas membahas masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatanNya. Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu, akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan manusia, sehingga amal perbuatan yang dilakukan manusia semata-mata akan tertuju karena Allah. Dengan demikian ilmu tauhid akan mengarahkan manusia menjadi ikhlas dan keikhlasan ini termasuk akhlak yang mulia.
Allah berfirman:
وما امروا الا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلواة ويؤتواالزكاة وذلك دين القيمة.
“padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan )agama dengan lurus.”
Kedua, dilihat dari segi fungsinya, ilmu tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghapal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subyek yang terdapat dalam rukun iman itu. Rukun iman erat sekali kaitannya dengan pembinaan akhlak yang mulia. Dalam al-Qur’an maupun as sunnah, iman dan amal saleh sering kali dijelaskan secara bersamaan.
Jika kita percaya kepada Allah dan Allah memiliki sifat-sifat yang mulia, maka sebaiknya manusia yang percaya meniru sifat-sifat Tuhan itu, contoh: Allah bersifat Maha pengasih dan Maha penyayang, maka sebaiknya manusia meniru sifat tersebut dengan mengembangkan kasih sayang dimuka bumi dan sesame manusia.
Jika orang beriman kepada malaikat, maka hendaklah manusia mengembangkan sifat yang dimiliki malaikat, seperti jujur, amanah, selalu konsequen terhadap perintah. Di samping itu percaya kepada malaikat akan melahirkan perasaan selalu diawasi oleh malaikat, maka manusia akan terdorong untuk berbuat baik dan berakhlak mulia. Allah berfirman:
ما يلفظ من قول الا لديه رقيب عتيد
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
Sementara itu beriman kepada kitab, khususnya al-Qur’an, maka seseorang akhlaknya harus sesuai dengan al-Qur’an, yaitu mengamalkan segala perintah dan menjauhi larangan yang sudah ditentukan dalam al-Qur’an. Dengan demikian hal itu akan mengakibatkan seseorang berakhlak mulia.
Selanjutnya beriman kepada rasul, khususnya Nabi Muhammad SAW dan para rasul pada umumnyam harus disertai dengan upaya mencontoh dan menerapkan akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan al qur’an sendiri mengatakan bahwa nabi Muhammad itu berakhlak mulia seperti yang ada dalam surah al-ahzab ayat 21. Hal itu dapat diperkuat lagi dengan meniru sifat-sifat wajib rasul, maka akan menjadikan manusia berakhlak mulia.
Demikian pula beriman kepada hari akhir, dari sisi akhlak harus diimbangi dengan beramal yang baik karena segala amal perbuatan manusia di dunia akan dimintai pertanggungjawabannya nanti di akhirat. Maka dari itu keimanan kepada hari akhir akan dapat memotivasi seseorang untuk beramal yang sholeh dan orang yang beramal sholeh dan bertaqwa selalu orang yang berakhlak mulia.
Selanjutnya beriman kepada qada’ dan qadar (takdir) erat sekali kaitannya dengan akhlak . Seseorang yang beriman kepada qada’ dan qadar senantiasa bersyukur terhadap apa yang sudah ditakdirkan dan menerimanya dengan lapang dada. Hal ini termasuk akhlak yang mulia, karena orang biasanya sulit sekali menerima keadaan tersebut.
Berdasarkan analisis yang sederhana ini, tampak jelas bahwa rukun iman yang enam ternyata erat kaitannya dengan pembinaan akhlak yang mulia. Dengan demikian, dalam rangka pengembangan ilmu akhlak, bahan-bahannya dapat digali dari ajaran tauhid atau keimanan tersebut.
Hubungan ilmu tauhid dengan ilmu akhlak dapat pula dilihat dari eratnya iman dengan amal sholeh. Baik dalam al-Qur’an maupun al-hadist banyak sekali yang menyebutkan secara beriringan tentang iman dan amal sholeh karena keduanya saling berkaitan. Misalnya dalam al-Qur’an:
قد افلح المؤمنون. الذين هم في صلوتهم خاشعون. والذين هم عن اللغو معرضون. والذين هم عن الزكاة فاعلون. والذين هم لفرجهم حافظون.
“ sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang berima, yaitu mereka yang sholatnya khusyu’ dan yang menjauhkan diri dari (perkataan dan perbuatan) yang tidak berguna. Dan yang membayar zakat. Dan mereka yang menjaga kesopanan.”
Dan hadits:
لايؤمن احدكم حتى يحب لخيه ما يحب لنفسه
“ Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mau mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
Ayat dan hadits di atas merupakan contoh yang bertemakan iman yang mempunyai hubungan dengan akhlak baik. Maka dapat diambil kesimpulan dan dapat dilihat dengan jelas bahwa terdapat hubungan antara ilmu tauhid yang membahas keimanan dengan ilmu akhlak yang membahas perbuatan baik. Ilmu tauhid tampil sebagai memberikan landasan terhadap ilmu akhlak, dan ilmu akhlak memberikan penjabaran dan pengamalan dari ilmu tauhid. Ilmu tauhid tanpa akhlak yang mulia tidak ada artinya, dan akhlak mulia tanpa tauhid tidak akan kokoh. Selain itu tauhid memberikan pengarahan terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi terhadap pengarahan tersebut. Maka di sinilah letak hubungan erat antara ilmu tauhid dengan ilmua akhlak.
D.     Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Jiwa(Psikologi)
Sebelum kita berbicara lebih jauh mengenai hubungan ilmu akhlak dengan ilmu jiwa, hendaklah kita melihat sejenak mengenai pengertian psikologi (ilmu jiwa).
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami perilaku manusia, alasan dan cara mereka melakukan sesuatu, dan juga memahami bagaimana makhluk tersebut berpikir dan berperasaan. Atau Edwin G Boring mendefinisikan psikologi secara lebih sederhana yakni “Psikologi ialah studi tentang hakekat manusia.”
Jadi psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa yang didasarkan pada perilaku atau gejala yang nampak.
Dilihat dari bidang garapannya, Ilmu jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku. Melalui ilmu jiwa dapat diketahui sifat-sifat psikologis yang dimiliki seseorang. Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan misalnya, akan melahirkan perbuatan dan sikap yang tenang pula, sebaliknya jiwa yang kotor, banyak berbuat kesalahan dan jauh dari Tuhan akan melahirkan perbuatan yang jahat, sesat dan menyesatkan orang lain. Dengan demikian ilmu jiwa mengarahkan atau memusatkan pembahasannya pada aspek batin dengan cara melihatnya melalui aspek yang tampak.
Di dalam al-Qur’an hal ini diungkapkan dengan istilah al insan  yaitu sesuatu yang berkaitan dengan manusia dan aktivitasnya, misalnya tentang belajar, tentang musuhnya, penggunaan waktunya, keterkaitannya dengan moralitas dan akhlak dan masih banyak lagi yang berkaitan dengan ini.
Sebenarnya hasil telaah diatas menggambarkan adanya hubungan yang erat antara potensi psikologi dengan ilmu akhlak. Atau dengan kata lain melalui bantuan informasi yang diberikan psikologi atau potensi yang diberikan oleh al qur’an, maka ilmu akhlak dapat dibengun dengan kokoh.
Hal ini lebih lanjut dapat kita jumpai dalam uraian mengenai akhlak yang diberikan oleh Quraish Shihab, dalam buku terbarunya wawasan al qur’an. Di situ ia antara lain mengatakan: kita dapat berkata bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik dan juga sebaliknya. Ini berarti menusia memiliki kedua potensi tersebut.
Namun demikian dalam kesimpulannya, Quraish Shihab berpendpat bahwa walaupun kedua potensi ini (baik dan buruk) terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyarat-isyarat dalam Al Qur’an behwa kebajikan lebih dulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan, dan bahwa pada dasarnya manusia cenderung pada kebajikan.
Kecenderungan manusia kepada kebajikan ini terbukti dari adanya persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan jika terjadi pada bentuk,  penerapan atau pengertian yang tidak sempurna dalam konsep-konsep moral yang disebut ma’ruf dalam bahasa al-Qur’an. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan atau keangkuhan. Tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan kepada kedua orang tua adalah buruk.
Uraian tersebut memberikan pengertian bahwa manusia dapat mengetahui baik buruk dengan menggunakan akalnya, atau dirinya sendiri. Akan tetapi akal manusia yang dapat mengetahui baik buruk terbatas, maka dari itu masih memerluka informasi tentang baik buruk yang asalnya dari wahyu Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa sumber moral ajaran akhlak berasal dari akal pikiran dan potensi yang dimiliki manusia dan selanjutnya disempurnakan oleh petunjuk wahyu. Bukti mengenai hal itu dapat dijumpai dalam pemikiran teologi Muktazilah. Sekilas tentang pemikiran: pengetahuan tentang baik burk dapat diketahui dengan akal, dan jika manusia tidak dapat mengetahuinya dengan akal maka Tuhan wajib menurunkan wahyu-Nya.
Berdasarkan uraian di atas, maka Quraish Shihab lebih lanjut mengatakan bahwa tolok ukur kelakuan baik buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.
Uraian di atas menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat potensi ruhaniah yang cenderung kepada kebaikan dan keburukan. Potensi tersebut lebih mendalam lagi dikaji dalam ilmu psikologi. Jadi untuk dapat mengembangkan akhlak kita dapat memanfaatkan informasi dari psikologi.
Selain itu, di dalam ilmu jiwa juga terdapat informasi tentang perbedaan psikologis yang dialami seseorang pada setiap jenjang usianya. Gejala psikolgis    seperti ini akan memberikan informasi tentang perlunya menyampaikan ajaran akhlak sesuai dengan perkembangan jiwanya. Dalam kaitan ini dapat dirumuskan sejumlah metode dalam menanamkan akhlak yang mulia. Dengan demikian ilmu jiwa dapat juga memberikan masukan dalam rangka merumuskan metode dan pendekatan dalam pembinaan akhlak.
E.    Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Pendidikan
Menurut Prof. Brodjonegoro ilmu pendidikan atau paedagogi adalah teori pendidikan, perenungan tentang pendidikan. Dalam arti yang luas paedagogi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari soal-soal yang timbul dalam praktek pendidikan. Sebenarnya istilah pendidikan dalam bahasa arab yaitu tarbiyah, ta’dib atau ta’lim. Jadi pada intinya ilmu pendidikan adalah ilmu yang digunakan mempelajari proses pendewasaan manusia yang disertai tanggung jawab moral. Dalam ilmu ini dibahas : tujuan pendidikan, kurikulum, metode dll. Tetapi semua aspek pendidikan ditujukan pada tercapainya tujuan pendidikan.
Imam Ghazali mengatakan tujuan pendidikan agama Islam yang hendak dicapai adalah; pertama kesesmpurnaan manusia yang pada puncaknya adalah dekat dengan Allah. Kedua kesempatan manusia yang puncaknya kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kesempurnaan yang dimaksud adalah kebahagiaan didunia dan di akhirat serta menjadi insan kamil.
Di samping masih banyak ahli-ahli lain yang merumuskan tujuan pendidikan islam yang kami tidak etis kalau menyebutnya satu per satu disini. Pada intinya tujuan pendidikan islam adalah terbentuknya seorang hamba Allah yang patuh, tunduk serta melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya serta memiliki sifat-sifat dan akhlak yang mulia.
Rumusan ini dengan jelas menggambarkan bahwa antara pendidikan islam dan ilmu akhlak ternyata sangat berkaitan erat. Pendidikan islam merupakan sarana yang mengantarkan anak didik agar menjadi orang yang berakhlak.
Pendidikan dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan orang tua di rumah, guru di sekolah dan pimpinan serta tokoh masyarakat di lingkungan. Kesemua lingkungan ini merupakan bagian integral dari pelaksanaan pendidikan yang berarti pula tempat dilaksanakan pendidikan akhlak.
F.    Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Filsafat
Sebelum kita berbicara lebih jauh lagi, hendaklah kita mengetahui dahulu mengenai yang dimaksud filsafat. Pada asal katanya filsafat berasal dari kata Philosophia yang berarti cinta kepada kebenaran, juga ada  yang berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah. I.R Poedjawijatna, filsafat ialah ilmu yang berusaha mencari sebab sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.
Berpikir filsafat harus memenuhi beberapa kriteria antara lain harus sistematis, harus konsepsional, harus koheren, harus rasional, harus sinoptik(menyeluruh) harus mengarah kepada pandangan dunia. Jadi dalam berpikir filsafat yang dibahas ialah hakikat segala sesuatu, dan sifatnya menyeluruh juga radikal.
Diantara obyek filsafat yang erat kaitannya dengan ilmu akhlak adalah tentang manusia. Para filosof muslim seperti Ibn Sina (980-1037M) dan al Ghazali memiliki pemikiran tentang manusia sebagaimana terlihat dalam pemikirannya tentang jiwa.
Ibn Sina misalnya mengatakan bahwa jiwa manusia merupakan satu unit tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada berpikir, jiwa masih berhajat pada badan. Karena pada permulaan wujudnya, badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berpikir. Pancaindra dan daya-daya jiwa yang lain yang menolong jiwa untuk memperoleh konsep dan ide dari alam sekelilingnya. Jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka selamanya ia berada dalam kesenangan, jika ia berpisah ia tidak sempurna, karena ketika bersatu dengan badan ia dipengaruhi hawa nafsu badan, maka ia akan menyesal selamanya. Uraian di atas memberikan petunjuk bahwa dalam pemikiran filsafat terdapat bahan atau sumber yang dapat dikembangkan  lebih lanjut menjadi sebuah konsep akhlak.
Al-Ghazali membagi manusia ke dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut: kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali. Kaum pilihan (khavas; elect) yang akalnya tajam dan berpikir secara mendalam. Kaum ahli debat (ahl al-jadl). Pembagian ini didasarkan pada berbeda-bedanya sifat-sifat mereka.
Pemikiran Al Ghazali ini memberi petunjuk adanya perbedaan cara dan pendekatan dalam menghadapi orang sesuai dengan tingkat dan daya tangkapnya. Pemikiran yang demikian akan membantu dalam merumuskan metode, cara, dan pendekatan yang tepat dalam mengajarkan akhlak.
Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam pemikiran filosofis itu akan memberika masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dan sebagainya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang aman dan damai.
Selain itu filsafat juga membahas tentang Tuhan, alam dan makhluk lainnya. Dari pembahasan ini akan dapat diketahui dan dirumuskan cara berhubungan dengan Tuhan dan makhluk lainnya. Dengan demikian akan diwujudkan akhlak yang baik terhadap Tuhan, tehadap manusia, alam dan makhluk Tuhan lainnya.
G.     Kesimpulan
  1. Pengamalan tasawuf baik falsafi, akhlaki dan amali akan dapat mengubah akhlak seseorang yang menjalankan hal itu. Jadi dengan tasawuf akhlak seseorang akan berubah menjadi baik.
  2. Orang yang mempelajari ajaran tauhid dan mengamalkan sesuai dengan ajarannya itu akan menjadi berakhlak mulia. Karena orang tersebut selalu merasa diawasi oleh Allah SWT.
  3. Konsep-konsep kejiwaan yang diberikan oleh Ilmu jiwa akan dapat digunakan untuk pembinaan akhlak. Dan juga ilmu akhlak dapat dibangun dengan menggunakan informasi yang diberikan oleh ilmu jiwa.
  4. Pendidikan Islam merupakan sarana yang mengantarkan anak didik agar menjadi orang yang berakhlak. Karena tujuan pendidikan islam adalah membentuk insan kamil. Disamping itu tempat pelaksanaan pendidikan juga merupakan tempat pelaksanaan pendidikan akhlak.
  5. Filsafat yang pemikirannya terdapat studi mengenai hakekat manusia dapat menjadi masukan yang berguna dalam merencanakan dan merancang cara-cara membina manusia dan metode juga pendekatan yang tepat untuk membina akhlak.